Senin, 24 Januari 2011

Charta Politika Award 2010

Setiap tahunnya Charta Politika memberikan Award kepada tokoh yang  menjadi pemuka opini dan paling berpengaruh di media sepanjang tahun, Charta Politika Award 2010 diadakan di Hotel Nikko pada tanggal 19 January 2011, award ini didasarkan dari hasil survei,  Survei yang  dilakukan dengan metode purposive sampling terhadap enam surat kabar nasional yakni Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Republika, Rakyat Merdeka, dan Indo Pos.

Teknik pengumpulan data digunakan dengan mengelompokkan bobot berita berdasarkan isu, tokoh, dan lembaga. Berita tersebut kemudian dianalisa dengan analisis isi. Berdasarkan data media tracking,  penilaian terdiri atas 7 kategori dalam Charta Politika Award 2010.

Ketujuh kriteria itu yakni, Kategori Pimpinan Negara, Kategori Politisi Parpol Oposisi, Kategori Parpol Koalisi Pemerintah, Kategori Aktivis LSM/Pengamat Politik, Kategori Pimpinan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Pemerintah, Kategori Kepala Daerah, dan Lifetime Achievement.

Dari hasil survei Charta Politika maka ditetapkan para tokoh yang dinilai menjadi pemuka opini dan berpengaruh besar pada konstelasi pemberitaan di media massa adalah :

I. Kategori Pimpinan Lembaga Negara :
    -  Bibit-Chandra (913 artikel berita)
II. Kategori Pimpinan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian :
    -  Gamawan Fauzi (605)
III. Kategori Politisi Parpol Oposisi :
    -   Pramono Anung (442)
IV. Kategori Politisi dari Koalisi Pemerintahan  :
    -   Priyo Budi Santoso (672)
V. Kategori Aktivis LSM/Pengamat  :
    -   Burhanuddin Muhtadi (345) 
VI. Kategori Kepala Daerah  :
    - . Alex Nurdin (Gub Sumsel)
 VII. Lifetime Achievement  :
    -  Jusuf Kalla 



















Minggu, 16 Januari 2011

Hukum Adat

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti JepangIndia, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Hukum Adat di Indonesia

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
  1. Hukum Adat mengenai tata negara
  2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
  3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
  1. Aceh
  2. Gayo dan Batak
  3. Nias dan sekitarnya
  4. Minangkabau
  5. Mentawai
  6. Sumatra Selatan
  7. Enggano
  8. Melayu
  9. Bangka dan Belitung
  10. Kalimantan (Dayak)
  11. Sangihe-Talaud
  12. Gorontalo
  13. Toraja
  14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
  15. Maluku Utara
  16. Maluku Ambon
  17. Maluku Tenggara
  18. Papua
  19. Nusa Tenggara dan Timor
  20. Bali dan Lombok
  21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
  22. Jawa Mataraman
  23. Jawa Barat (Sunda)

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.


Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

Daftar Pustaka


    

  • Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
  • Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
  • Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
  • Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
  • Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
  • Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung.
  • Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta.
  • Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
  • Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
  • Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia






Selasa, 11 Januari 2011

Istilah-Istilah Hukum

Mengadili : serangkaian tindakan hakim dl menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dl hal dan menurut cara yg diatur undang-undang;
Peradilan : proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut hukum yg berlaku;
Pengadilan : suatu lembaga (instansi) tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dl rangka kekuasaan kehakiman yg mempunyai kewenangan absolut dan relatif sesuai dng Peraturan Perundang-undangan yg menentukannya/membentuknya.
Advokat : orang yg berprofesi memberi jasa  hukum, baik di dlm maupun di luar  pengadilan yg memenuhi syarat berdasarkan ketentuan.
Ajudikasi : peristiwa hukum ketika tersangka sudah berubah status menjadi terdakwa; pd proses ini mempertunjukkan bukti yg lengkap kpd pengadilan disertai dua alat bukti ditambah keyakinan 
Amnesti :  pembatalan tuntutan dan penghapusan putusan pengadilan 
Arbitrase :  pengadilan 
Legal assistance : setiap orang yg tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yg semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
Banding : upaya hukum setelah adanya putusan dr Pengadilan Tingkat Pertama
Bantuan hukum : jasa hukum yg diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kpd klien yg tidak mampu
Barang bukti : benda-benda yg dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yg benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa thd perkara pidana yg dituduhkan
Civil law system : sistem peradilan di Indonesia dibangun berdasarkan doktrin bahwa pemerintah senantiasa akan berbuat baik thd warganegara
Code CivilKitab Undang-undang Hukum Perdata di Perancis
Terdakwa : seseorang yg diduga telah melakukan suatu tindak  pidana dan ada cukup alasan untuk  dilakukan pemeriksaan di depan persidangan.  
Dakwaan : tuntutan perkara; tuduhan.
Pendakwa : orang yg mendakwa (menuntut, menuduh)
Daluwarsa : (1)  lewat waktu; (2)  suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk  dibebaskan  dr suatu perikatan dng lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yg ditentukan oleh undang-undang
Desentralisasi : (1) suatu tata pemerintahan yg lebih banyak memberikan kekuasaan kpd pemerintahan daerah; (2) penyerahan sebagian wewenang pimpinan kpd bawahan (secara vertikal)
Dekonsentrasi : pelimpahan wewenang dr pemerintah, kepala wilayah, atau instansi vertikal tingkat atas kpd pejabat daerah
Duplik : berkas/surat dari tergugat/termohon tentang tanggapan dr adanya replik  penggugat/pemohon 
Eksekusi : (1) pelaksanaan putusan pengadilan; pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan hukuman badan pengadilan (khususnya hukuman mati), (2) penyitaan dan penjualan seseorang atau lainnya karena berhutang
Eksepsi : satu hak dr terdakwa untuk menjawab surat dakwaan; tanggapan thd sahnya sebuah gugatan (perkara perdata) maupun dakwaan (perkara pidana) yg berhubungan dng kewenangan/kompetensi absolut dan relatif serta identitas tergugat (perdata) maupun terdakwa (pidana).
Error in persona : mengadili dan menghukum seseorang yg tidak bersalah
Firma :  persekutuan  untuk melakukan suatu  usaha  di bawah  nama tunggal, para anggotanya bertanggung  jawab atas seluruhnya pd pihak ketiga
Gadai : peminjaman uang dng menyerahkan suatu barang bergerak sbg jaminan
Ganti kerugian : hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yg sesuai dng undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yg diterapkan
Grasi : wewenang   dari  kepala negara  untuk  memberi pengampunan thd  hukuman yg telah dijatuhkan hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau mengubah sifat/bentuk hukuman tsb 
Tergugat : seseorang yang digugat di pengadilan.
Penggugat : seseorang yang mengajukan gugatan di pengadilan
Hakim : orang yg diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan krn penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas
Hibah : pemberian suatu persetujuan dr seseorang yg semasa hidupnya memberikan sesuatu kpd orang lain dengan cuma-cuma. 
Wasiat : pemberian dng surat wasiat yg baru mempunyai kekuatan hukum setelah pembuat wasiat meninggal
Hipotek : (1) kredit yg diberikan atas dasar jaminan berupa benda tidak bergerak, (2) surat pernyataan berutang untuk jangka panjang yg berisi ketentuan  bahwa  kreditor dapat memindahkan sebagian atau  seluruh hak tagihannya kpd pihak ketiga 
Hukum : peraturan-peraturan yg bersifat memaksa dlm menentukan tingkah laku manusia di lingkungan masyarakat, dibuat oleh badan-badan resmi yg berwajib.
Ius civile : hukum sipil   
Ius privatum : hukum privat  
Ius publicum : hukum publik
Jaksa :  pejabat yg diberi wewenang oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk  bertindak sbg  penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap 
Juncto : bertalian dng, berhubungan dng 
Jurusita : pejabat pengadilan yg bertugas memanggil saksi ke pengadilan, melakukan penyitaan dsb 
Kasasi : upaya hukum setelah adanya putusan dr Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi)
Klausula : ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yg salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi.
Kodifikasi : pembukuan undang-undang  dan peraturan-peraturan  secara sistematis dan lengkap  di dlm  kitab undang-undang untuk memperoleh kesatuan hukum, kepastian hukum, dan penyederhanaan hukum
Konkordansi : pasal mengenai hukum Indonesia yg harus disamakan dng hukum di Belanda
Kualifikasi hukum :  penggolongan/pembagian  seluruh kaidah hukum ke  dl pengelompokkan/pembidangan kategori hukum tertentu yg telah ditetapkan sebelumnya
Kwasi : pura-pura, seolah-olah, semu
Legalitas : kesahan
Legitimitas : (1) keterangan yg mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah benar-benar orang yg dimaksud, kesahan, kebenaran, identitas, (2)  pernyataan yg sah menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang, pengesahan 
Lisensi : (1) surat izin untuk mengangkut barang dagangan, (2) surat izin usaha
Maatschap : suatu bentuk kerja sama yg paling sederhana dan paling tidak mengikat
Mediasi : proses pengikutsertaan pihak ketiga dlm penyelesaian suatu perkara sbg penasihat
Municipal law : hukum yg berlaku di kota praja, hukum lokal 
Negara teritorial : negara yg mempunyai kawasan dng batas-batas yg jelas dirumuskan menurut hukum
Ordonansi : peraturan-peraturan pd zaman Hindia Belanda 
Otorisasi : kekuasaan penuh; izin dr atas 
Peninjauan kembali (PK) : upaya hukum setelah adanya putusan dr Pengadilan Tingkat Kasasi disertai dng pendapat jika adanya kekhilafan hakim dl penerapan suatu putusan atau adanya bukti-bukti baru/novum yg belum pernah disampaikan dl persidangan (tingkat pertama, banding atau kasasi)
Perbuatan melawan hukum :  suatu kealpaan yg bertentangan dng hak orang lain atau bertentangan dng kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dng nilai kesusilaan dan nilai pergaulan hidup thd orang lain atau suatu benda
Petitum : tuntutan
Pledoi : pembelaan 
Posita : dasar-dasar gugatan/fakta-fakta
Pro justitia : untuk/demi hukum atau undang-undang 
Replik : berkas/surat dr penggugat/pemohon tentang tanggapan dr jawaban tergugat/termohon
Saksi : orang yg mengetahui dng jelas mengenai suatu perkara karena melihat sendiri atau karena pengetahuannya
Verifikasi : pemeriksaan dan penelitian untuk meneliti kebenaran suatu hal
Waris (ahli waris) : orang yg berhak menerima harta peninggalan atau pusaka seseorang yg telah meninggal, orang yg berhak mewaris.
Warisan : harta peninggalan berupa barang-barang atau hutang piutang dari orang yg meninggal yg seluruhnya atau sebagian ditinggalkan/diberikan kpd para ahli waris atau orang-orang yg telah ditetapkan menurut surat wasiat; 
Pewaris : orang yg mewariskan
Yuridiksi : lingkungan (wewenang) kekuasaan mengadili, kekuasaan hukum 
Yurisprudensi : (1) ilmu dan penerapan prinsip undang-undang dan peradilan, (2) himpunan putusan hakim



 




Selasa, 04 Januari 2011

Sejarah Waralaba

Waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan dealer.

Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restauran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA.
.

Waralaba


Waralaba atau Franchising (dari bahasa Prancis untuk kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual(HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa
Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah:
Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Perbedaan antara Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.

Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.

Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah :

1. Sumber;

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."


Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :

a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjiakan,

Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :

"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".

Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.

Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).

2. Timbulnya hak menuntut.

Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :

“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).

3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).

Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.

Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.