Selasa, 15 Maret 2011

OVERMACHT (FORCE MAJEURE)

Pengertian keadaaan memaksa atau overmacht menurut R. Setiawan adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.

Menurut undang-undang ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu :

a.Tidak memenuhi prestasi 
b.Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur 
c.Faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat  dipertanggungjawabkan kepada debitur
   
Apabila terjadi overmacht dan memenuhi unsur a dan c, maka overmacht ini disebut absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Jika terjadi overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaa ini disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitur untuk berbuat.
Keadaan memaksa yang menghalangi pemenuhan prestasi haruslah mengenai prestasinya sendiri, karena kita tidak dapat mengatakan adanya keadaan memaksa jika keadaan itu terjadi kemudian. Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi itu ada tidaknya hanya jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasinya bahkan debitur sendiri yang bersangkutan tidak mungkin atau sangat berat untuk memenuhi prestasi. Penentuannya harus berdasarkan kepada masing-masing kasus.
Debitur tidak harus menanggung risiko dalam keadan memaksa maksudnya debitur baik berdasarkan undang-undang, perjanjian maupun menurut pandangan yang berlaku dalam masyarakat, tidak harus menanggung risiko. Selain itu karena keadaan memaksa, debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi pemenuhan prestasi pada waktu perjanjian dibuat.
Klausula overmacht atau force majeure biasa dicantumkan dalam pembuatan perjanjian atau kontrak dengan maksud melindungi pihak-pihak. Hal ini terjadi apabila terdapat bagian dari perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan karena sebab-sebab yang berada di luar kontrol para pihak dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sewajarnya.
Dalam pencantuman klausula overmacht biasanya terdapat penekanan kepada keadaan memaksa yang berada di luar kekuasaan para pihak. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada pihak yang dibebankan tanggung jawab atau risiko untuk setiap kegagalan atau penundaan terhadap pelaksanaan kewajiban sesuai dengan kontrak.

Keadaan memaksa menimbulkan berbagai akibat, yaitu :
a. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c. risiko tidak beralih kepada debitur;
d. kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
Dalam hal ini kewajiban untuk melaksanakan kontra prestasi menjadi gugur. Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada, yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika keadaa memaksa itu berhenti.
e. hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa ini adalah :
1. debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu dengan jalan penangkisan (eksepsi)
2. berdasarkan jabatan hakim tidak dapat menolak gugatan yang berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang memikul beban untuk membuktikan keadaan memaksa.
Adakalanya bahwa sekalipun debitur tidak bersalah, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena telah diperjanjikan. 

Adapun bentuk-bentuk keadaan memaksa terdiri atas dua bagian, yaitu :
a. Bentuk yang umum, yaitu :
1. keadaan iklim;
2. kehilangan;
3. pencurian
b. Bentuk yang khusus, yaitu :
1. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Undang-undang atau peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan memaksa. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa prestasi tidak dapat dilakukan, akan tetapi prestasi itu tidak boleh dilakukan, akibat adanya undang-undang atau peraturan pemerintah tersebut.
2. Sumpah
Adanya sumpah terkadang menimbulkan keadaan memaksa, yaitu apabila seseorang yang harus berprestasi itu diharuskan atau dipaksa bersumpah untuk tidak melakukan prestasi.
3. Tingkah laku pihak ketiga
4. Pemogokan
Bentuk khusus dari keadaan memaksa ini adakalanya menimbulkan force majeure dan adakalanya tidak.

Pembuktian keadaan memaksa, debitur dapat mengemukakan keadaan memaksa sebagaimana tersebut diatas, dan harus terpenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1.ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
2.ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
3.ia tidak mau menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.

Selasa, 08 Maret 2011

Gen-A

Gen-A adalah sekumpulan anak muda dari lintas profesi dan latar belakang yang bertujuan membangun dan menciptakan generasi muda yang kreatif, dinamis, dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Gen A didirikan dengan pondasi lima nilai utama yang selalu menjadi landasan pemikiran dan aksi-aksi di lapangan, yaitu Fighters (Pejuang), Solvers (Pemberi solusi), Leaders (Pemimpin), Winners (Pemenang), Transformers (pembangun kultur baru).  

Gen A adalah organisasi independen, non partisan, serta memfokuskan aktvitasnya pada kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan dan budaya.Gen A  merancang program dan aktivitas untuk membangun karakter anak muda yang kuat dan memiliki cita cita besar bukan hanya untuk dirinya, tapi bagi bangsanya.


  www.gen-a.or.id                                    

                                                                                                          

Gen-A Launching, 27 Pebruari 2011











Senin, 07 Maret 2011

Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis Hak Kekayaan Intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari Hak Kekayaan Intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh Kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam Undang-Undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin").Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentangcopyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegangcopyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini,copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlakucopyright tersebut selesai.

Sejarah Hak Cipta di Indonesia

Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

Hak - Hak yang tercakup dalam Hak Cipta

Hak eksklusif

Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
  • membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
  • mengimpor dan mengekspor ciptaan,
  • menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
  • menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
  • menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun".
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

Hak ekonomi dan hak moral

Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.

Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.

Cara Pendaftaran Hak Cipta

1. Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan dengan cara mengisi formulir yang disediakan  
    untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 2 (dua)

2. Pemohon wajib melampirkan :

    a. Surat Kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui kuasa
    b. Contoh ciptaan dengan ketentuan sebagai berikut :
         - Buku dan karya tulis lainnya : 2 (dua) buah yang telah dijilid dengan edisi terbaik,
         - Apabila suatu buku berisi foto seseorang harus dilampirkan surat tidak keberatan dari
           orang yang difoto atau ahli warisnya
         - Program komputer: 2 (dua) buah disket disertai buku petunjuk pengoperasian dari 
           program komputer tersebut
         - CD/VCD/DVD : 2 (dua) buah disertai dengan uraian ciptaannya
         - Alat peraga : 1 (satu) buah disertai dengan buku petunjuknya
         - Lagu : 10 (sepuluh) buah berupa notasi dan atau syair
         - Drama : 2 (dua) buah naskah tertulis atau rekamannya
         - Tari : (koreografi) : 10 (sepuluh) buah gambar atau 2 (dua) buah rekamannya
         - Pewayangan : 2 (dua) buah naskah tertulis atau rekamannya


Formulir pendaftaran dan alur permohonan dapat di download di http://www.dgip.go.id

Tarif Hak Cipta


TARIF / BIAYA
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2009
Tentang
Jenis Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

No.
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Satuan
Tarif
1.
Permohonan pendaftaran suatu ciptaan
per permohonan
Rp 200.000,00
2.
Permohonan pendaftaran suatu ciptaan berupa program komputer
per permohonan
Rp 300.000,00
3.
Biaya (Jasa) Penerbitan Sertifikat Hak Cipta
per sertifikat
Rp 100.000,00
4.
Permohonan pencatatan pemindahan hak atas suatu ciptaan yang terdaftar dalam daftar umum ciptaan
per permohonan
Rp   75.000,00
5.
Permohonan perubahan nama dan alamat suatu ciptaan yang terdaftar dalam daftar umum ciptaan
per permohonan
Rp   50.000,00
6.
Permohonan petikan tiap pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan
per permohonan
Rp   50.000,00
7.
Pencatatan lisensi hak cipta
per permohonan
Rp   75.000,00

Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2009